Jumat, 07 Maret 2014

Kisah Klasik Bersama Baro

          Telah lama rasanya aku tak bersua dengan Baro, sosok yang selalu bersandar menempati fantasi-fantasi yang tinggal di pikiranku selama ini. Baro adalah lelaki yang kukenal sebagai seorang yang romantis dan  lucu. Hampir setiap waktunya saat dulu kami sering berdua, ia selalu menyanyikan senandung lagu untukku. Selain itu, ia juga mempunyai gigi seperti Hamtaro, anime serial Jepang yang sangat aku sukai. Tak pelak, ia pun sering kupanggil dengan sebutan Hambaro. 
           Suatu malam, bulan nampak terang-benderang ditemani jutaan bintang-gemintang. Aku menyaksikan langit malam itu bersama Baro di bangku halaman depan rumahku, tepatnya di bawah pohon cemara, tempat kami biasa bercanda dan tertawa ria. Seketika kami tertegun, saat satu bintang memancarkan cahayanya lebih terang ketimbang banyaknya bintang yang kami pandang.
           "Lihat itu, bintang apa ya?" tanyanya padaku.
           "Kurasa, itu bintang kejora." jawabku sekenanya. 
Entahlah, aku juga tak begitu memikirkan nama bintangnya. Baro pun lantas bernyanyi. Suara Baro yang khas membuatku lebih menikmati suasana tenang malam itu.
         Meski malam masih belia, Baro memutuskan untuk lebih awal pulang ke rumahnya. Jarak rumahnya dari kediamanku cukup dekat. Aku sedikit kesal saat ia beranjak pergi meninggalkanku. Tapi tak apalah. Sebab, esok harinya ia akan menemaniku di rumah yang sedang sendirian ditinggal Ayah dan Ibu ke luar kota.
         "Tarik selimut!" ujarku penuh harap yang ingin cepat-cepat bertemu Baro di dalam mimpi. 
Bulan begitu cepat tergantikan oleh sang surya. Sebenarnya aku belum ingin bangun. Karena aku memang benar-benar bertemu Baro meskipun aku sedang dalam keadaan Lucid Dream. Dan aku juga tahu ia akan menemuiku pagi itu. Tapi apa boleh buat, alarm yang letaknya di atas lemari kecil berisikan buku-buku di samping tempat tidurku, membuatku terkejut, kesal, dan terbangun.
          Ketukan pintu khas dari Baro merebak ditelingaku, lekas kubuka pintu dan kupersilahkan Baro untuk masuk. 
       Sifatku yang memang sedikit kekanak-kanakkan meski telah memasuki usia remaja membuatku masih saja senang akan hal yang berbau barbie. Aku bergegas mengambil mainan diniku itu yang tersimpan rapi dibalik kaca lemari koleksiku. Namun, aku tak malu pada Baro. Baro yang memang sejak kecil telah bersahabat denganku, cukup mengenal karakterku yang satu ini. Aku pun tak segan mengajaknya bermain Barbie. Heran benar aku saat itu, ia sama sekali tak menolak. Ia malah mengiyakan ajakanku. Mungkin saja ia hanya ingin membuatku senang. Atau jangan-jangan ia memang menyukai boneka mungil itu? Terserah saja. Tapi aku yakin ia tidak menyukainya. 
          Aku juga suka makan es krim. Es krim yang aku sukai yaitu Hula-Hula Ketan. Sesederhana itulah aku. Dan Baro juga tahu itu. Kami sering membuat es krim di rumahku. 
          Kami juga suka bermain hujan. Saat hujan turun, kami ibarat anak kecil yang berlarian di bawah titik-titik air itu, lengkap dengan jas hujan, payung, dan tidak lupa pula kami mengenakan sepatu boot. Kami bagaikan dua Donal Bebek yang sedang bermain lumpur. Ternyata, kotor itu kadang menyenangkan. 
         Pada hari Minggu, kami sering bersepeda mengitari kota. Tidak jarang kami mondar-mandir tak tahu tujuan. Dan lagi-lagi, itu adalah saat-saat yang menyenangkan bersamanya. 
         Kelak aku ingin ia bisa berada disampingku. Menemani hari-hariku layaknya saat kami bersama dulu. Makan es krim atau apalah. Aku merindukan memori manis itu. Selama ini, yang aku lakukan hanyalah berkhayal dan mencoba bermimpi tentangnya. Hampir setiap malam atau saat santai aku sering menerka bagaimana wajahnya kini. Aku seperti orang-orang yang menderita Skizofrenia. Bahkan, lama-lama aku bisa saja stres karenanya. 
     Terkadang, aku berpikir betapa senangnya bila mempunyai pacar khayalan. Di mana kita bisa menciptakan sendiri sifatnya, wajahnya, dan semua tentang pacar khayalan serupa mungkin yang kita inginkan.
        Aku juga senang akan semua hal tentang kegilaanku pada Baro selama ini. Senang bisa menyanyikan lagu-lagu yang pernah ia nyanyikan padaku dulu. Aku sering senyum-senyum sendiri setelahnya, bahkan tertawa terbahak-bahak. Terlebih lagi saat aku menangisinya.
     "Bisakah aku menghentikan semua ini? Menghentikan khayalanku tentang Baro atau pun menerka sosoknya yang sekarang?" kata-kata inilah yang selalu muncul di benakku saat ini.
         Aku mencoba menghentikan semua ini. Aku ingin bangkit dari keterpurukan. Menghindar dari bayang-bayang sosok Baro di kepalaku. Dan berusaha untuk mencari kesibukan sampai sesibuk-sibuknya. Aku juga senantiasa berdo'a, semoga saja suatu saat nanti, entah kapan pun itu, aku bisa berjumpa lagi dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar