Sabtu, 04 Juni 2016

Gomen ne, Summer (2)


            “Iya Lee, serius aku ketemu Karis” Lunar menceritakan momen yang tiba-tiba bertemu Karis itu pada Lee Hi dengan raut wajah yang begitu sumringah, kemudian mendadak menjadi datar.
            “Tapi Lee, aku takut dia ngajakkin aku balikan, terus aku disakitin lagi, emang sih keliatannya dia udah berubah” Sambung Lunar dengan ekspresi datar, sedatar lantai rumah.
            “Jadi, maksudnya kamu trauma Lun? Yaa, kamu juga perlu was-was sih, pastiin aja dulu kalo dia emang bener-bener udah berubah. “ Jawab Lee Hi dengan serius, seserius mengerjakan tugas yang sedang ia ketik sekarang .
“Tapi BTW (By The Way) kamu kok pede banget sih bakal diajak balikan gitu?” Lee Hi tertawa kecil menghentikan ketikannya dan langsung menoleh ke arah Lunar yang sedang  sedang mengunyah makanan ringan di atas kasur.
“Hahaha eh iya ya Lee” Lunar pun terbahak lantas menghentikan sejenak mesin kunyahnya itu, dan terdiam.

***

            Angin bertiup sepoi-sepoi, udara meningkatkan volumenya. Langit yang biru terbentang perlahan terpudar akibat disergap oranye dari sisi barat yang berjalan turun menembus  celah-celah awan. Jarum-jarum cahayanya ikut menembus gemercik ombak yang gaduh menebarkan degradasi warna yang indah biru-biru keemasan. Pantai begitu menakjubkan dikala senja menghadang.

     “Perasaan itu, sejujurnya aku masih menyimpannya Lun”  Ucapan Shiro mendadak mengheningkan suasana. Ini kali ke dua Shiro mengutarakan perasaannya setelah dulu ia ucapkan saat mereka masih berada di kota yang didudukki Monas (Monumen Nasional).

              Lunar hanya terdiam, bahkan untuk menoleh ke sumber suara pun tidak bisa.

            “Ini adalah cinta meski kita hanya berteman” Shiro menyambung ucapannya.
“Kamu nggak perlu jawab ini Lun, aku tau sebenarnya hati kamu masih di Ka…”
“Nggak, hati aku bukan di dia” Lunar memotong ucapan Shiro dan menekuk lututnya memandang gemercik ombak sembari berkata dalam hati,
“Iya, hati aku di Karis, tapi sepertinya di kamu juga, entahlah aku tidak bisa memaparkannya”

           Ombak menerjang menumbur cagak-cagak dermaga hingga membuat dermaga bergetar seperti perasaan Shiro sekarang. Kicauan-kicauan yang khas itu perlahan menghilang dari pendengaran karena mereka terbang menuju kediamannya. Gelap tengah berjalan menangkap sang oranye, sebentar lagi semua akan berwarna hitam, jarum-jarum cahaya yang tadinya menyilaukan kini pias sudah.
“Gelap, benar-benar gelap.” Tutur Shiro dalam batinnya.

***

           Gomen ne (Maaf), di musim salju melihatmu begitu menyilaukan seperti bentangan salju itu sendiri; Shiro. Kamu menyenangkan, baik, juga keren. Tidak bisa kupungkiri aku juga suka sama kamu. Tapi kita ini teman. Anggap saja ini alasannya. Aku ingin kita terus dekat seperti ini. Tomodachi de ite kureta arigatou (Terimakasih telah menjadi temanku)” Tulis Lunar dalam lembaran hariannya.

            “Jeng… jeng… cie cie dua kali” kejut Lee Hi yang sedari tadi sudah mengintip Lunar menulis dari belakang.
            “Apaan sih, malu tau” Lunar langsung menutup buku hariannya keluar kamar dan meraih remote televisi.
            “Cieee, kok kamu nolak sih” Lee Hi ikut duduk di samping Lunar, mengganggunya yang sedang pura-pura asyik nonton kuisioner.
            “Iya bener juga sih Lun keputusan kamu, nggak semua yang baik dan menyenangkan kita jadiin pacar. Takutnya kalo temenan deket terus pacaran dilanjut putus, eh hubungan jadi canggung” Lee Hi mengambil alih remote untuk mengecilkan volume suara televise.
            “Yaaa aku sih bukan mikir putus gitu, tapi gimana ya. Soalnya kebanyakan cerita sih yah gini” Lee Hi menatap Lunar yang kelihatannya sedang merenung.
            “Iya bener banget Lee, itu yang aku pikirin. Tapi aku tuh emang udah lama juga sih kagum suka-suka gitu hmmm di sisi lain juga aku masih sayang sama Karis”
            “Labil banget kamu Lun, pikirin aja positif negatifnya nerima salah satu dari mereka ya. Na jol-lyeo (Aku ngantuk)” Sambil berjalan ke kamar.

“Kala itu, aku diajak ke dalam hutan yang indah, dimana aku merasakan kesejukkan dan kenyamanan di dalamnya, momen itu membuat kami semakin penasaran untuk masuk lebih dalam lagi sampai kami tersesat dan aku ditinggal sendirian. Aku mencarinya tapi aku tidak menemukannya termasuk jejak-jejak kakinya karena tenggelam ditutup daun yang gugur. Aku tidak ingin lagi berkhayal menjadi matanya hanya untuk mengetahui perasaannya saat dia menatapku. Apakah hambar atau malah tergambar? Aku selalu ingat bagaimana lensaku membidik senyum manisnya, aku selalu ingat bagaimana kacamatanya menjernihkan mata minimalisnya” Tulis Lunar dalam  buku diarynya.

***

             Kamakura tampak megah dihiasi api-api berbentuk bunga warna-warni yang berhamburan, letupan-letupan dahsyat bertubi-tubi lepas landas menghiasi langit malam yang tadinya kelat. Siapa yang tidak suka pemandangan seperti ini, pemandangan yang mampu membuat mulut para mata menganga. Tentunya para fotografer pun tidak ingin melewatkan peristiwa menakjubkan ini. Para kamera tercagak tegap mendongak ke atas, menyergap momen ini. Suara yang berkolaborasi saat ini kira-kira seperti ini ‘woaaa’ ‘duaaar’ dan satu lagi seperti ini ‘cekrek cekrek ckrek’. Hingar binar malam kembang api inilah yang ditunggu Lunar. Momen ini begitu menggenapkan permintaannya pada Karis kala itu. Benar, bersama Karis dia di festival ini.

            “Karis, makasih ya, udah ajak aku ke sini, ini keren lah pokoknya” Mereka mencari tempat duduk yang sedikit jauh dari keramaian.
       “Iya, dulu kamu juga kan yang minta buat main kembang api, nah ini ada yang kecil” menghidupkan setangkai kembang api kecil.
          “Lunar, sebenarnya aku menyesal udah nyia-nyiain kamu dulu” Menatap Lunar yang berhenti memutar-mutar tangkai kembang api yang dipegangnya.
            “Udah, santai aja itu kan dulu, Ris” Lunar tersenyum tipis.
          “Maksudku, aku pengen kita balik lagi kayak dulu Lun. Entah, aku yakin banget perasaan kamu nggak berubah” Sambil menatap kembang api di atas yang belum berhenti selama 3500 detik itu.
            “Mmm, maaf, kamu salah Ris, waktu itu sudah lama berlalu, perasaanku juga udah berubah, aku harap kamu ngerti Ris. Sono sutekina omoide o arigatou (Terimakasih untuk kenangan indah itu)” Tatapan Lunar mengarah ke Karis.

            Hey, mengapa Lunar seperti ini? Padahal perasaan itu Lunar masih menyimpannya dengan rapi. Sepertinya Lunar takut kejadian itu akan terulang untuk ke dua kalinya.

           “Mmm begitu kah Lun? Aku minta maaf atas apa yang telah kuperbuat dulu. Teruslah bersinar. Anata ga shiawase ni narimasu you ni (Semoga kau bahagia). Karis mengatakan dengan senyum dan ketegaran hati.

Kini genap 3600 detik, titik-titik api terakhir yang indah menawan itu perlahan jatuh dan menghilang di awang-awang. Tampak dari bawah keindahan warna-warni itu memudar ditelan gelap memadukan suasana hati Karis.

Gomen ne (Maaf) melihatmu di musim panas malam hari itu tampak menyilaukan seperti sinar dari kembang api. Juga menyilaukan seperti pasir di pantai yang mengkilat; aku tidak bisa melihatnya. Debaran ini menyakitkan. Akankah perasaan ini terus berlanjut?” Tidak terasa, tetesan-tetesan air itu meluncur di punggung pipinya hingga jatuh memadamkan setangkai kembang api yang tengah ia cekal dengan jarinya.


Minggu, 28 Februari 2016

Gomen Ne, Summer



             Karis terus mengamati foto dalam bingkai yang berdiri di atas lemari kecil berisikan kumpulan novel di kamarnya. Dalam foto itu seorang gadis mungil, bermata bundar nan jernih, sedang menggendong anak kucing berbulu hitam nan lebat. Dalam foto itu wajahnya sangat ceria dihiasi tawa yang lepas. Gadis itu disapa, Lunar.
            Iya, nanti kalo kita ke Jepang, waktu musim panas, kita harus main kembang api, Ris” Ingatan tentang Lunar selalu menyelimuti pikiran Karis yang sedang dibumbui rasa penyesalan karena telah menyia-nyiakan orang yang telah menyayanginya.
***
            Ko-hi, koucha, ko-ra, orenji ju-su ga gozaimasu ga (ada kopi, teh, cola,  dan jus jeruk)” Jelas Tadao Shiro pada Lunar dan Lee Hi.
            Tadao Shiro seorang pelayan di sebuah restoran, sekaligus teman Lunar dan Lee Hi saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Tadao mengenalkan keindahan Negeri Matahari Terbit dan kebudayaannya pada dua sahabat itu, memperlihatkan bagaimana dingin dan lembutnya salju turun, serta mencicipi lezatnya Sushi, Onigiri, dan berbagai macam makanan khas lainnya dari Negeri itu.
            Jaa, ko-hi- o onegai shimasu (kalau begitu minta kopi)” Pinta Lunar dan Lee Hi secara bersamaan, mereka saling memandang dan tertawa kecil.
            Satou to miruku wa otsukai ni narimasu ka? (Apakah anda ingin pakai gula dan susu atau krim?)” Tanya Tadao lagi, senyumnya seperti bulan sabit yang berotasi 90o ke kanan.
            Hai (Ya)” Jawab Lunar dengan singkat, karena tidak tahu lagi mau berkata apa pada Tadao, sambil tertawa tipis.
            “Wah udah fasih aja Bahasa Jepangnya” Gurau Tadao yang sedang mengusap nampan dengan selembar kain lap.
            “Haha, kan kamu juga yang ngajarin” Kata Lee Hi sambil menggoreskan jarinya ke permukaan kaca yang berembun karena salju di hadapannya. Lee Hi sahabat Lunar yang pendiam, dia terdampar di Tokyo karena perpindahan tugas Ayahnya
***
            Apartemen Tadao bersebelahan dengan apartemen Lee Hi, tidak jarang mereka bersahut-sahutan dari jendela kamar mereka yang berseberangan. Bahkan jika ada keperluan mendadak, Tadao sering melompat dari  jendelanya ke balkon kamar Lee Hi. 
            “Aduh, aku tidak bisa mendenar suaranya, mungkinkah ini kutukan dari ibu?” Sambil menekan tooth piano menirukan suatu adegan serial anime.          
Sigatsu wa Kimi no Uso!” Jawab Tadao dengan gesit, mereka tengah asyik main tebak adegan di apartemen Tadao yang sunyi.
“Coba deh kali ini tebak lagu ini I want to change the world Jounetsu tayasa…” Lirik Lee Hi terhenti seketika.
“Inuyasha!” Tebak Lunar dan Tadao secara serentak.
                                                                   ***
            Keriuh-piuhan Tokyo sirna, saat memasuki gerbang Kuil Meiji karena disambut nuansa hijau pohon rindang yang berbaris tegap. Derap langkah begitu menelusuk di telinga karena tapakkan kaki mereka pada kerikil dan padatnya pasir.
            “Kalian bisa kok nulis harapan kalian di kertas ini” Jelas Tadao sambil menunjukkan kertas-kertas harapan yang terselip rapi pada besi-besi papan yang terletak di sebuah pohon besar.
            “Aku ingin bertemu Karis setelah musim semi” Tulis Lunar pada secarik kertas permohonan.
***
             “Jib-e  ga-yo…(Saya pulang)” Teriak Lee Hi sambil membuka pintu.
Lunar yang sedang duduk di samping meja makan memandang lesu  Lee Hi yang baru saja pulang dari kerja.
“Jangan gantungkan kebahagiaanmu pada orang yang bahkan tak berusaha membuatmu bahagia” Melempar tasnya di atas sofa, Lee Hi seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Lunar.
“Ne (Iya)” Jawab Lunar dengan singkat sambil memandang jepit rambut  sakura pemberian Karis kala itu yang terletak di atas meja makan.
“Lun, ngalir aja, nggak usah lihat ke belakang lagi” Ucap Lee Hi sambil menepuk bahu kanan Lunar.
“Bukan itu Lee yang aku pikirin” jelas Lunar, sambil menjepit poninya dengan jepit sakura yang barusan ia raih dari atas meja.
***
            “Lunar” Sapa seorang pria dari belakang.
           Seketika Lunar tertegun, menegenali suara khas itu. Perlahan Lunar membalikkan tubuhnya, lekas ia genggam erat jepit rambut sakura di genggamannya dan lensa Lunar yang bundar menangkap jelas, seorang pria bermata minimalis lengkap dengan kacamatanya, rambutnya sekarang lebih pendek dari waktu yang lalu.
       “Karis” Jawab Lunar, seakan tak percaya apa yang sedang ia saksikan. Pria yang selalu dibicarakan oleh pikirannya kini datang, menggenapkan apa yang dulu pernah mereka citakan. Mereka bersenda gurau, menapaki jembatan klasik, menyeberangi sungai Katsura. Senyum Lunar yang dulu pernah gugur, kini kembali mekar seperti sakura di musim semi. Sejuknya perasaan Lunar seperti hembusan angin dari gesekan dedaunan  pohon bambu. Partemuan telah menjebak mereka dalam suasana kenyamanan kisah silam. 

Bersambung...
             

Rabu, 03 Februari 2016

Senja dari Seorang Sahabat





Udah dong Jev, jangan nangis terus, kasihan tuh mata kamu tambah gede aja” kata Reginta sambil memeluk tubuhku yang mungil ini. Sebut saja dia Rere, karena terlalu panjang jika menyebutnya Reginta.
            Saat itu usia persahabatanku dengan Rere 96 minggu. Kami bertemu sejak duduk di bangku kelas 2 (Sekolah Menengah Pertama) SMP. Kami tidak pernah jaim dan tidak pernah bermasalah. Kami sudah saling nyaman. Kami sama-sama saling menyukai hujan, senja, es krim, kucing dan cupcake. Saat di sekolah kami selalu berdua, ke kantin,  kerja kelompok bahkan ke toilet pun kami berdua. Tidak jarang ada yang menyebut kami kembar bak pinang dibelah empat, hey! Dua maksudku. Teman-teman di kelas juga sering terbalik memanggil nama kami.
***
 Gilaaak udah jam 06.00 aja” Aku berlari terbirit-birit ke kamar mandi karena melihat angka itu.
Setelah aku tiba di pintu kelas langkahku terhenti karena ternyata semua kursi sudah penuh, ada sisa 1 bangku kosong di sudut kiri. Tidak ada pilihan lagi, aku berlari untuk menaruh tasku di bangku sana. Plaaak… pada detik yang sama seseorang melempar tas di bangku tersebut dari depan kelas.
Yaudah kita sebangku” kata Maya teman sekelasku yang tomboy  pada kelas 1  kemarin. Dia menarik tanganku dan mengajakku berlari menuju halaman upacara kerena sebentar lagi upacara di mulai. Hanya ada aku dan Maya di koridor kelas.
Setelah pulang sekolah aku bercerita dengan kucingku yang lucu dan gembul.
“Aku nggak  satu kelas lagi sama Rere. Menyedihkan bukan Matt?” Sambil mengelus kepala kucing kesayanganku dengan bulu hitam nan lebat yang sedang menjilat tetesan es krim yang ada di tanganku.
“Kriiiing…” Dering ponsel mematahkan suasana menyedihkan.
“Wah nomor siapa nih? Angkat aja lah, penting kayaknya” Sambil mengusap touch screen pilihan answer.
“Ini Mbak Jevi kan? Kelas 11 IPA 3? Ini ku Adam, Adik kelas Mbak yang ikut Organisasi Jurnalis (OJe) kayak Mbak. Oh iya Mbak, Adam baca puisi buatan Mbak di Wall akun Facebook Mbak dua hari yang lalu dan itu kayaknya masih ada yang perlu direvisi” jelasnya dengan terengah-engah.
“Ini ngomong kayak gerbong kereta api aja panjang banget. Bentar ini Adam anak Jawa yang berkulit putih dan berkaca mata mirip Harry Potter? Wah aku inget” batinku.
“Oh Adam. Iya, iya. Eh tapi udah direvisi kok tadi malelm sama temen Mbak, namanya Mela dia OJe juga loh. Coba cek lagi deh” jelasku pada Adam. Mela teman sekelasku sekaligus tim jurnalisku selain Rere.
Oalaah Mbak Mela toh. Eh Mbak, maaf ya sebelum Mbak nanya, aku kasih tau duluan ya kalo aku dapet nomor Mbak dari Mbak Mela hehe” jelas Adam dengan logat Jawanya yang khas.
Obrolan kami berlanjut. Adam yang kunilai pendiam ternyata hobi bercerita dan ternyata seru juga, dia juga sedikit absurd. Peristiwa telponan itu membuat aku dan Adam semakin akrab. Dia sering merevisi puisiku karena pengetahuan sastranya lebih baik dariku. Kedekatan diantara kami membuat hubungan kami jadi lebih dari seorang teman.
“Jevi temenin aku main basket ya nanti malem
“Tapi aku mau buat cupcake sama Rere”
“Mbak Rere kan bisa sendiri, kamu temenin aku aja lah biar aku semangat”
Jangan tanya hubungan apa namanya. Jelas saja ini judulnya Cinta Siamang, eiits salah! Tapi, Cinta Monyet Cinta Anak Ingusan maksudku.
1 New Message from Rere: “Jevi, besok kita buat cupcake ya, ada pesenan nih”
“Yaah, Re maaf ya aku besok ada janji sama Adam mau ke Gramedia” Balasku.
Sejak saat itu, aku mulai tidak akrab dengan Rere.
***
            “Jevi! Cepet gih beres-beres, hari ini kan kita mau nganter Rere ke Loket. Aku on the way sekarang” Tanpa jawaban, Mela menutup telepon. Aku bergegas secepat kilat. Benar saja pagi ini kami harus mengantar Rere ke Loket karena dia akan berangkat ke Kota Pelajar.
            “Assalamualaikum, Rere...! Rere...! Rere...!” Panggilku dari pintu depan rumah Rere.
            “Maaf  Mbak.  Rerenya udah berangkat kira-kira lima menit yang lalu. Dia bilang kalo dia ke Loket Muara Enim. Ini ada titipan surat juga buat Mbak Jevi dari Mbak Rere” Ucap Mamang Bengkel yang keluar dari pintu sebelah rumah Rere.
            “Ooh yaudah makasih ya Mang infonya”  Sambil menarik surat dari tangan Mamang Bengkel itu, dan bergegas menuju Vespa tuanya Mela yang terparkir di depan pagar rumah Rere.
            “Mel, kita ke Muara Enim sekarang, jangan banyak tanya. Cuuus” Menutup kunci pagar rumah Rere yang sudah berkarat.
            Di perjalanan menuju loket Muara Enim, aku membuka surat dari Rere. Tulisan khas Rere yang sedikit miring mengingatkanku pada saat kami belajar kelompok usai membuat cupcake kala itu.
            “Jevi aku pamit ya, maaf selama ini kalo aku punya salah sama kamu, buat kamu tersinggung atau apa. Aku titip si Meong  Cha, rawat dia ya, kasih makan bareng Matt aja. Kalo aku pulang ke Lahat, nanti kita bikin cupcake lagi, menikmati rintik hujan, menikmati senja dan juga menjilat dinginnya es krim. Jev, maaf ya aku sengaja pergi lebih dulu ke loket, aku nggak mau liat kamu nangis, kamu kan cengeng banget. Oh iya selamat ya udah lulus di Universitas Sriwijaya, doain sahabatmu ini lulus di salah satu Universitas Negeri Jogja. Aku bakal kangen banget sama sahabatku satu ini. Selamat datang Jogjaaa. Bye Jev. Sampai ketemu lagi” Tulis Rere pada selembar surat berwarna merah muda dan bercorak Bunga Sakura itu.
            1 New Message from Rere: “Jev nggak usah nyusul aku udah nggak di loket lagi”
            Aku terhempas pada kesedihan dan penyesalan mendalam, dulu aku sibuk dengan duniaku sendiri sampai menyia-nyiakan sahabat yang begitu peduli denganku sedang aku lupa dengannya. Saat sudah berpisah aku baru mencari-carinya.  Sebelum ada Adam padahal duniaku tak kalah indahnya tidak jarang aku bermalam di rumah Rere hanya karena membuat cupcake pesanan teman di sekolah saat bosan kami saling mencoret muka dengan krim putih nan lembut itu agar suasana tidak begitu serius. Menikmati dinginnya hujan dan melukis pada hawa hujan yang menempel di kaca jendela rumah Rere saat dilanda gundah gelisah serta tidak lupa juga menyeruput hangatnya secangkir cokelat. Kami juga selalu menyambut senja ditemani dengan Matt dan Meong Cha. Dan kini, Adam juga pergi tanpa kabar.
***
Senja yang sangat indah dihiasi titik garis lurik. Kuningnya sangat merona, garis sinar yang sangat gagah berani menelusuk bumi. Terpaan cahaya senja yang bersahaja membuat daun pohon kelapa di belakangku nampak mengkilap. Pasir putih yang terbentang ini  pun berkelap-kelip seperti bintang di hitamnya malam. Sungguh panorama yang apik dipandang para mata. Seketika suara riuh memecah lamunan tik… tik… tik… hujan! Lekas aku berlari menuju pondok samping pohon kelapa sambil membopong Matt dan Meong Cha. Kini senja berada di bawah hujan.
“Jeviii” Teriak seorang yang berambut panjang dan ikal berkulit sawo matang serta membawa sangkek bambu. Benar sekali, Rere. Dia datang melengkapi cerita dia berlari mendekat, air matanya jatuh terpontang-panting seperti merasakan keadaan yang ganjil. Aku lekas mengejarnya dan memeluk erat tubuhnya, seperti enggan melepasnya lagi.
“Ini cupcake sama es krimnya” Air matanya masih mengalir menganak sungai. Kedatangannya menggenapkan suasana. Es krim, cupcake, Matt, Meong Cha, serta hujan dan senja. Bukan mustahil kami dapat bersama. Sungai Lematang bak Pantai Trikora ini tetap menjadi markas kami sampai sekarang.
“Kamu kok nggak ada kabar sih
“Aku minta maaf ya dulu aku sempet acuh sama kamu, cuma  karena laki-laki”
“Yaa Jev, aku juga minta maaf. Sekarang kita fokus kuliah dulu ya. Takutnya kalo pacaran ganggu konsentrasi kita buat kuliah. Kita banggain dulu Ibu Bapak kita. Oh ya aku diterima di Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN)” Sahut Rere sembari mengeluarkan empat cangkir cupcake dari dalam sangkek.
“Iya Re, setuju banget sama kamu. Waaah selamat ya aku ikut seneng dengernya
Satu cangkir Cupcake yang tergeletak di atas karpet tempat kami duduk sudah dijilat saja sama dua makhluk manja nan lucu ini.
***
            Setelah 6 minggu liburan tiba saatnya kami harus berpisah pulau lagi.
“Re, siap-siap yuk, itu nama kamu bentar lagi dipanggil” Duduk di kursi tunggu loket, sambil mendengar speaker pemanggil penumpang.
            “Jevi,  koper kamu basah tuh. Pinggirin gih” Menunjukkan koper yang lupa kuteduhkan dari serbuan hujan.
Nggak terasa Re, kita udah pisah lagi. Kamu baik-baik ya di Jogja. Jaga baik-baik ya Matt Kesayanganku itu” Memberikan sangkar Matt kepada Rere.
            “Kamu juga Jev, baik-baik di Palembang, jaga si centil Meong Cha ya” Memberikan tali penuntun yang masih terikat di leher Meong Cha padaku.
            Dan perjalanan pulang dua pasang sahabat yang seiring seirama tidak terasa berat walau dirusuh hujan. Karena setelah itu, sunggingan pelangi akan datang mengiringi dan sebuah komitmen yang telah terpatri.
            1 new message from Rere: “Beberapa menit lagi kita akan memandang senja dari kaca bis kita masing-masing”.

Senin, 30 November 2015

Hujan



Rintik Penjemput Cerita
Arum Cantika Putri

Aku rindu menatap hawa buramnya membasahi permukaan kaca dengan rata, aku tak bisa menahan jari-jemariku untuk diam, embun selalu saja berhasil mengajak jari-jemariku melukis menuangkan rasa dari palung sukma. Mendengar dan menghayati suara rintiknya yang menyerbu menapaki tanah, betapa lembutnya nada yang langit jatuhkan lewat sebuah hujan betapa konstanya irama, tetaplah mengalun, karena alunanmulah yang berhasil mengajakku bercerita pada diriku sendiri tentang apa yang ada dalam pikiranku, karena alunanmulah yang memintaku untuk tidak berpura-pura manakala aku ingin berpura-pura pada suatu yang tidak jarang disebut sebagai perasaan.
***
          Sangat retorik, pikiranku bertanya pada perasaanku dan pada saat yang sama pula hati membekap mulutku.
***
Menjejaki hujan bersamanya sangat mengasyikan serta terasa begitu mengesankan. Berlari-lari kecil sambil menggenggan erat sekumpulan lembaran kertas dan menghindari serbuan hujan yang tidak begitu deras, melewati genangan air di koridor kampus, mendaki licinnya anak tangga karena percikan hujan  di pinggir dalam gedung jurusan, tenang saja aku sering menghampiri ingatan itu. Hujan selalu menciptakan sunggingan senyum di bibirku dan berhasil membawaku dalam suasana kedamaian. Aliran air hujan yang bening dan dingin pada cekungan aspal seperti tertanam suatu magnet yang berhasil menarik kaki kananku untuk membendungnya hingga airnya menembus kulit sepatu coklatku. Tingkah yang kekanak-kanakkan.
***
Tetaplah diam, karena suara hujan akan lebih menyadarkanku dan biarkan hujan yang membujukku untuk menceritakannya padamu.
***
Bukan sebuah jaket dan sebuah payung yang berhasil membuat suasana kian romantika kala itu, tapi rintik hujan itu sendiri. Rintiknya berhasil membuat sang pemeran melupakan rotasi waktu yang terus-menerus berputar. Hujan, kau berhasil menciptakan realita  kisah romantika. Keindahan hujan menerbitkan cerita bahwa kebahagiaan sesederhana itu, memang sangat sederhana, seperti sederhananya langit menjatuhkan rintik hujan itu sendiri. Bahkan setelah hujan itu terhenti muncul pesona yang tak kalah indahnya lengkung senyumnya berwarna-warni mengkilap menghiasi dinding lagit yang pucat dan menghijaukan kembali alam yang tadinya ditangisi hujan.
***
          Dan perjalanan pulang dua pasang kaki yang seiring seirama tidak terasa berat walau dirusuh hawa debu hujan karena iringan pelangi dan sebuah kisah cerita yang telah terpati.