Sabtu, 04 Juni 2016

Gomen ne, Summer (2)


            “Iya Lee, serius aku ketemu Karis” Lunar menceritakan momen yang tiba-tiba bertemu Karis itu pada Lee Hi dengan raut wajah yang begitu sumringah, kemudian mendadak menjadi datar.
            “Tapi Lee, aku takut dia ngajakkin aku balikan, terus aku disakitin lagi, emang sih keliatannya dia udah berubah” Sambung Lunar dengan ekspresi datar, sedatar lantai rumah.
            “Jadi, maksudnya kamu trauma Lun? Yaa, kamu juga perlu was-was sih, pastiin aja dulu kalo dia emang bener-bener udah berubah. “ Jawab Lee Hi dengan serius, seserius mengerjakan tugas yang sedang ia ketik sekarang .
“Tapi BTW (By The Way) kamu kok pede banget sih bakal diajak balikan gitu?” Lee Hi tertawa kecil menghentikan ketikannya dan langsung menoleh ke arah Lunar yang sedang  sedang mengunyah makanan ringan di atas kasur.
“Hahaha eh iya ya Lee” Lunar pun terbahak lantas menghentikan sejenak mesin kunyahnya itu, dan terdiam.

***

            Angin bertiup sepoi-sepoi, udara meningkatkan volumenya. Langit yang biru terbentang perlahan terpudar akibat disergap oranye dari sisi barat yang berjalan turun menembus  celah-celah awan. Jarum-jarum cahayanya ikut menembus gemercik ombak yang gaduh menebarkan degradasi warna yang indah biru-biru keemasan. Pantai begitu menakjubkan dikala senja menghadang.

     “Perasaan itu, sejujurnya aku masih menyimpannya Lun”  Ucapan Shiro mendadak mengheningkan suasana. Ini kali ke dua Shiro mengutarakan perasaannya setelah dulu ia ucapkan saat mereka masih berada di kota yang didudukki Monas (Monumen Nasional).

              Lunar hanya terdiam, bahkan untuk menoleh ke sumber suara pun tidak bisa.

            “Ini adalah cinta meski kita hanya berteman” Shiro menyambung ucapannya.
“Kamu nggak perlu jawab ini Lun, aku tau sebenarnya hati kamu masih di Ka…”
“Nggak, hati aku bukan di dia” Lunar memotong ucapan Shiro dan menekuk lututnya memandang gemercik ombak sembari berkata dalam hati,
“Iya, hati aku di Karis, tapi sepertinya di kamu juga, entahlah aku tidak bisa memaparkannya”

           Ombak menerjang menumbur cagak-cagak dermaga hingga membuat dermaga bergetar seperti perasaan Shiro sekarang. Kicauan-kicauan yang khas itu perlahan menghilang dari pendengaran karena mereka terbang menuju kediamannya. Gelap tengah berjalan menangkap sang oranye, sebentar lagi semua akan berwarna hitam, jarum-jarum cahaya yang tadinya menyilaukan kini pias sudah.
“Gelap, benar-benar gelap.” Tutur Shiro dalam batinnya.

***

           Gomen ne (Maaf), di musim salju melihatmu begitu menyilaukan seperti bentangan salju itu sendiri; Shiro. Kamu menyenangkan, baik, juga keren. Tidak bisa kupungkiri aku juga suka sama kamu. Tapi kita ini teman. Anggap saja ini alasannya. Aku ingin kita terus dekat seperti ini. Tomodachi de ite kureta arigatou (Terimakasih telah menjadi temanku)” Tulis Lunar dalam lembaran hariannya.

            “Jeng… jeng… cie cie dua kali” kejut Lee Hi yang sedari tadi sudah mengintip Lunar menulis dari belakang.
            “Apaan sih, malu tau” Lunar langsung menutup buku hariannya keluar kamar dan meraih remote televisi.
            “Cieee, kok kamu nolak sih” Lee Hi ikut duduk di samping Lunar, mengganggunya yang sedang pura-pura asyik nonton kuisioner.
            “Iya bener juga sih Lun keputusan kamu, nggak semua yang baik dan menyenangkan kita jadiin pacar. Takutnya kalo temenan deket terus pacaran dilanjut putus, eh hubungan jadi canggung” Lee Hi mengambil alih remote untuk mengecilkan volume suara televise.
            “Yaaa aku sih bukan mikir putus gitu, tapi gimana ya. Soalnya kebanyakan cerita sih yah gini” Lee Hi menatap Lunar yang kelihatannya sedang merenung.
            “Iya bener banget Lee, itu yang aku pikirin. Tapi aku tuh emang udah lama juga sih kagum suka-suka gitu hmmm di sisi lain juga aku masih sayang sama Karis”
            “Labil banget kamu Lun, pikirin aja positif negatifnya nerima salah satu dari mereka ya. Na jol-lyeo (Aku ngantuk)” Sambil berjalan ke kamar.

“Kala itu, aku diajak ke dalam hutan yang indah, dimana aku merasakan kesejukkan dan kenyamanan di dalamnya, momen itu membuat kami semakin penasaran untuk masuk lebih dalam lagi sampai kami tersesat dan aku ditinggal sendirian. Aku mencarinya tapi aku tidak menemukannya termasuk jejak-jejak kakinya karena tenggelam ditutup daun yang gugur. Aku tidak ingin lagi berkhayal menjadi matanya hanya untuk mengetahui perasaannya saat dia menatapku. Apakah hambar atau malah tergambar? Aku selalu ingat bagaimana lensaku membidik senyum manisnya, aku selalu ingat bagaimana kacamatanya menjernihkan mata minimalisnya” Tulis Lunar dalam  buku diarynya.

***

             Kamakura tampak megah dihiasi api-api berbentuk bunga warna-warni yang berhamburan, letupan-letupan dahsyat bertubi-tubi lepas landas menghiasi langit malam yang tadinya kelat. Siapa yang tidak suka pemandangan seperti ini, pemandangan yang mampu membuat mulut para mata menganga. Tentunya para fotografer pun tidak ingin melewatkan peristiwa menakjubkan ini. Para kamera tercagak tegap mendongak ke atas, menyergap momen ini. Suara yang berkolaborasi saat ini kira-kira seperti ini ‘woaaa’ ‘duaaar’ dan satu lagi seperti ini ‘cekrek cekrek ckrek’. Hingar binar malam kembang api inilah yang ditunggu Lunar. Momen ini begitu menggenapkan permintaannya pada Karis kala itu. Benar, bersama Karis dia di festival ini.

            “Karis, makasih ya, udah ajak aku ke sini, ini keren lah pokoknya” Mereka mencari tempat duduk yang sedikit jauh dari keramaian.
       “Iya, dulu kamu juga kan yang minta buat main kembang api, nah ini ada yang kecil” menghidupkan setangkai kembang api kecil.
          “Lunar, sebenarnya aku menyesal udah nyia-nyiain kamu dulu” Menatap Lunar yang berhenti memutar-mutar tangkai kembang api yang dipegangnya.
            “Udah, santai aja itu kan dulu, Ris” Lunar tersenyum tipis.
          “Maksudku, aku pengen kita balik lagi kayak dulu Lun. Entah, aku yakin banget perasaan kamu nggak berubah” Sambil menatap kembang api di atas yang belum berhenti selama 3500 detik itu.
            “Mmm, maaf, kamu salah Ris, waktu itu sudah lama berlalu, perasaanku juga udah berubah, aku harap kamu ngerti Ris. Sono sutekina omoide o arigatou (Terimakasih untuk kenangan indah itu)” Tatapan Lunar mengarah ke Karis.

            Hey, mengapa Lunar seperti ini? Padahal perasaan itu Lunar masih menyimpannya dengan rapi. Sepertinya Lunar takut kejadian itu akan terulang untuk ke dua kalinya.

           “Mmm begitu kah Lun? Aku minta maaf atas apa yang telah kuperbuat dulu. Teruslah bersinar. Anata ga shiawase ni narimasu you ni (Semoga kau bahagia). Karis mengatakan dengan senyum dan ketegaran hati.

Kini genap 3600 detik, titik-titik api terakhir yang indah menawan itu perlahan jatuh dan menghilang di awang-awang. Tampak dari bawah keindahan warna-warni itu memudar ditelan gelap memadukan suasana hati Karis.

Gomen ne (Maaf) melihatmu di musim panas malam hari itu tampak menyilaukan seperti sinar dari kembang api. Juga menyilaukan seperti pasir di pantai yang mengkilat; aku tidak bisa melihatnya. Debaran ini menyakitkan. Akankah perasaan ini terus berlanjut?” Tidak terasa, tetesan-tetesan air itu meluncur di punggung pipinya hingga jatuh memadamkan setangkai kembang api yang tengah ia cekal dengan jarinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar