Karis
terus
mengamati foto dalam bingkai yang berdiri di atas lemari kecil berisikan
kumpulan novel di kamarnya. Dalam foto itu seorang gadis mungil, bermata bundar
nan jernih, sedang menggendong anak
kucing
berbulu hitam nan lebat. Dalam foto itu wajahnya sangat ceria dihiasi tawa yang
lepas. Gadis itu disapa, Lunar.
“Iya,
nanti kalo kita ke Jepang, waktu musim panas, kita harus main kembang api,
Ris”
Ingatan tentang Lunar selalu menyelimuti pikiran Karis yang sedang dibumbui rasa penyesalan karena telah
menyia-nyiakan orang yang telah menyayanginya.
***
“Ko-hi, koucha, ko-ra, orenji ju-su ga
gozaimasu ga (ada kopi, teh, cola,
dan jus jeruk)” Jelas Tadao Shiro pada Lunar
dan Lee Hi.
Tadao Shiro seorang pelayan di
sebuah restoran, sekaligus teman Lunar dan Lee Hi saat duduk di bangku Sekolah
Dasar. Tadao mengenalkan keindahan Negeri Matahari Terbit dan kebudayaannya
pada dua sahabat itu, memperlihatkan bagaimana dingin dan lembutnya salju turun,
serta mencicipi lezatnya Sushi, Onigiri, dan berbagai macam makanan khas lainnya
dari Negeri itu.
“Jaa, ko-hi- o onegai shimasu (kalau
begitu minta kopi)” Pinta Lunar dan Lee Hi secara bersamaan,
mereka saling memandang dan tertawa kecil.
“Satou to miruku wa otsukai ni narimasu ka?
(Apakah anda ingin pakai gula dan susu atau krim?)” Tanya Tadao lagi, senyumnya
seperti bulan sabit yang berotasi 90o ke kanan.
“Hai (Ya)” Jawab Lunar dengan singkat,
karena tidak tahu lagi mau berkata apa pada Tadao, sambil tertawa tipis.
“Wah
udah fasih aja Bahasa Jepangnya” Gurau Tadao yang sedang mengusap
nampan dengan selembar kain lap.
“Haha,
kan kamu juga yang ngajarin” Kata Lee Hi sambil menggoreskan jarinya ke permukaan
kaca yang berembun karena salju di hadapannya.
Lee Hi sahabat Lunar yang pendiam, dia terdampar di Tokyo karena perpindahan
tugas Ayahnya
***
Apartemen Tadao bersebelahan dengan
apartemen Lee Hi, tidak jarang mereka bersahut-sahutan dari jendela kamar
mereka yang berseberangan. Bahkan jika ada keperluan mendadak, Tadao sering
melompat dari jendelanya ke balkon kamar
Lee Hi.
“Aduh, aku tidak bisa mendenar
suaranya, mungkinkah ini kutukan dari ibu?” Sambil menekan tooth piano menirukan suatu adegan serial anime.
“Sigatsu wa Kimi no Uso!” Jawab Tadao
dengan gesit, mereka tengah asyik main tebak adegan di apartemen Tadao yang
sunyi.
“Coba
deh kali ini tebak lagu ini I want to
change the world Jounetsu tayasa…” Lirik Lee Hi terhenti seketika.
“Inuyasha!”
Tebak Lunar dan Tadao secara serentak.
***
Keriuh-piuhan Tokyo sirna, saat
memasuki gerbang Kuil Meiji karena disambut nuansa hijau pohon rindang yang
berbaris tegap. Derap langkah begitu menelusuk di telinga karena tapakkan kaki
mereka pada kerikil dan padatnya pasir.
“Kalian bisa kok nulis harapan
kalian di kertas ini” Jelas Tadao sambil menunjukkan kertas-kertas harapan yang
terselip rapi pada besi-besi papan yang terletak di sebuah pohon besar.
“Aku ingin bertemu Karis setelah
musim semi” Tulis Lunar pada secarik kertas permohonan.
***
“Jib-e ga-yo…(Saya pulang)” Teriak Lee Hi sambil
membuka pintu.
Lunar
yang sedang duduk di samping meja makan memandang lesu Lee Hi yang baru saja pulang dari kerja.
“Jangan
gantungkan kebahagiaanmu pada orang yang bahkan tak berusaha membuatmu bahagia”
Melempar tasnya di atas sofa, Lee Hi seakan tahu apa yang sedang dipikirkan
Lunar.
“Ne
(Iya)” Jawab Lunar dengan singkat sambil memandang jepit rambut sakura pemberian Karis kala itu yang terletak
di atas meja makan.
“Lun,
ngalir aja, nggak usah lihat ke belakang lagi”
Ucap Lee Hi sambil menepuk bahu kanan Lunar.
“Bukan
itu Lee yang aku pikirin” jelas Lunar, sambil menjepit poninya dengan jepit
sakura yang barusan ia raih dari atas meja.
***
“Lunar” Sapa seorang pria dari
belakang.
Seketika Lunar tertegun, menegenali
suara khas itu. Perlahan Lunar membalikkan tubuhnya, lekas ia genggam erat
jepit rambut sakura di genggamannya dan lensa Lunar yang bundar menangkap jelas,
seorang pria bermata minimalis lengkap dengan kacamatanya, rambutnya sekarang lebih
pendek dari waktu yang lalu.
“Karis” Jawab Lunar, seakan tak
percaya apa yang sedang ia saksikan. Pria yang selalu dibicarakan oleh pikirannya kini datang,
menggenapkan apa yang dulu pernah mereka citakan. Mereka bersenda gurau,
menapaki jembatan klasik,
menyeberangi
sungai Katsura. Senyum Lunar yang dulu pernah gugur, kini kembali mekar seperti sakura di musim semi. Sejuknya
perasaan Lunar seperti hembusan angin dari gesekan dedaunan pohon bambu. Partemuan telah menjebak mereka
dalam suasana kenyamanan kisah silam.
Bersambung...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus