Minggu, 28 Februari 2016

Gomen Ne, Summer



             Karis terus mengamati foto dalam bingkai yang berdiri di atas lemari kecil berisikan kumpulan novel di kamarnya. Dalam foto itu seorang gadis mungil, bermata bundar nan jernih, sedang menggendong anak kucing berbulu hitam nan lebat. Dalam foto itu wajahnya sangat ceria dihiasi tawa yang lepas. Gadis itu disapa, Lunar.
            Iya, nanti kalo kita ke Jepang, waktu musim panas, kita harus main kembang api, Ris” Ingatan tentang Lunar selalu menyelimuti pikiran Karis yang sedang dibumbui rasa penyesalan karena telah menyia-nyiakan orang yang telah menyayanginya.
***
            Ko-hi, koucha, ko-ra, orenji ju-su ga gozaimasu ga (ada kopi, teh, cola,  dan jus jeruk)” Jelas Tadao Shiro pada Lunar dan Lee Hi.
            Tadao Shiro seorang pelayan di sebuah restoran, sekaligus teman Lunar dan Lee Hi saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Tadao mengenalkan keindahan Negeri Matahari Terbit dan kebudayaannya pada dua sahabat itu, memperlihatkan bagaimana dingin dan lembutnya salju turun, serta mencicipi lezatnya Sushi, Onigiri, dan berbagai macam makanan khas lainnya dari Negeri itu.
            Jaa, ko-hi- o onegai shimasu (kalau begitu minta kopi)” Pinta Lunar dan Lee Hi secara bersamaan, mereka saling memandang dan tertawa kecil.
            Satou to miruku wa otsukai ni narimasu ka? (Apakah anda ingin pakai gula dan susu atau krim?)” Tanya Tadao lagi, senyumnya seperti bulan sabit yang berotasi 90o ke kanan.
            Hai (Ya)” Jawab Lunar dengan singkat, karena tidak tahu lagi mau berkata apa pada Tadao, sambil tertawa tipis.
            “Wah udah fasih aja Bahasa Jepangnya” Gurau Tadao yang sedang mengusap nampan dengan selembar kain lap.
            “Haha, kan kamu juga yang ngajarin” Kata Lee Hi sambil menggoreskan jarinya ke permukaan kaca yang berembun karena salju di hadapannya. Lee Hi sahabat Lunar yang pendiam, dia terdampar di Tokyo karena perpindahan tugas Ayahnya
***
            Apartemen Tadao bersebelahan dengan apartemen Lee Hi, tidak jarang mereka bersahut-sahutan dari jendela kamar mereka yang berseberangan. Bahkan jika ada keperluan mendadak, Tadao sering melompat dari  jendelanya ke balkon kamar Lee Hi. 
            “Aduh, aku tidak bisa mendenar suaranya, mungkinkah ini kutukan dari ibu?” Sambil menekan tooth piano menirukan suatu adegan serial anime.          
Sigatsu wa Kimi no Uso!” Jawab Tadao dengan gesit, mereka tengah asyik main tebak adegan di apartemen Tadao yang sunyi.
“Coba deh kali ini tebak lagu ini I want to change the world Jounetsu tayasa…” Lirik Lee Hi terhenti seketika.
“Inuyasha!” Tebak Lunar dan Tadao secara serentak.
                                                                   ***
            Keriuh-piuhan Tokyo sirna, saat memasuki gerbang Kuil Meiji karena disambut nuansa hijau pohon rindang yang berbaris tegap. Derap langkah begitu menelusuk di telinga karena tapakkan kaki mereka pada kerikil dan padatnya pasir.
            “Kalian bisa kok nulis harapan kalian di kertas ini” Jelas Tadao sambil menunjukkan kertas-kertas harapan yang terselip rapi pada besi-besi papan yang terletak di sebuah pohon besar.
            “Aku ingin bertemu Karis setelah musim semi” Tulis Lunar pada secarik kertas permohonan.
***
             “Jib-e  ga-yo…(Saya pulang)” Teriak Lee Hi sambil membuka pintu.
Lunar yang sedang duduk di samping meja makan memandang lesu  Lee Hi yang baru saja pulang dari kerja.
“Jangan gantungkan kebahagiaanmu pada orang yang bahkan tak berusaha membuatmu bahagia” Melempar tasnya di atas sofa, Lee Hi seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Lunar.
“Ne (Iya)” Jawab Lunar dengan singkat sambil memandang jepit rambut  sakura pemberian Karis kala itu yang terletak di atas meja makan.
“Lun, ngalir aja, nggak usah lihat ke belakang lagi” Ucap Lee Hi sambil menepuk bahu kanan Lunar.
“Bukan itu Lee yang aku pikirin” jelas Lunar, sambil menjepit poninya dengan jepit sakura yang barusan ia raih dari atas meja.
***
            “Lunar” Sapa seorang pria dari belakang.
           Seketika Lunar tertegun, menegenali suara khas itu. Perlahan Lunar membalikkan tubuhnya, lekas ia genggam erat jepit rambut sakura di genggamannya dan lensa Lunar yang bundar menangkap jelas, seorang pria bermata minimalis lengkap dengan kacamatanya, rambutnya sekarang lebih pendek dari waktu yang lalu.
       “Karis” Jawab Lunar, seakan tak percaya apa yang sedang ia saksikan. Pria yang selalu dibicarakan oleh pikirannya kini datang, menggenapkan apa yang dulu pernah mereka citakan. Mereka bersenda gurau, menapaki jembatan klasik, menyeberangi sungai Katsura. Senyum Lunar yang dulu pernah gugur, kini kembali mekar seperti sakura di musim semi. Sejuknya perasaan Lunar seperti hembusan angin dari gesekan dedaunan  pohon bambu. Partemuan telah menjebak mereka dalam suasana kenyamanan kisah silam. 

Bersambung...
             

1 komentar: