Jumat, 26 Juni 2015

Pria Bermata Minimalis


Kamarku mempunyai udara sejuk, menyimpan keheningan yang mampu membangkitkan pikiranku untuk  berdaya khayal. Aku sedang tak belajar hanya untuk mengamati  foto seorang pria bermata minimalis. Senyumnya tak lepas namun membuatnya tampak elegan. Lelaki itu mengenakan baju berwarna putih, dengan background  berwarna merah . Akhir-akhir ini dia sangat sibuk tapi aku bisa memaklumi dan mengerti. Setelah kupikir-pikir kembali akan lebih baik  jika disela kesibukkannya dia masih mengingatku  dengan memberi sepadi kabar.

Sifatnya  berubah, menjadi sedikit lebih dingin dari hal yang lalu. Namun kuharap jangan terlalu perasa karena  bukan artinya aku tak suka, hanya  belum saja terbiasa. Mungkinkah dia menyadari, kalau dia bukanlah tokoh pria dalam lembaran komik  Jepang.  Lembaran  yang bisa selalu membuat wanita bertanya-tanya. Aku tidak pernah meminta dia untuk mengubah sifatnya kembali lagi seperti yang dulu. Sifat yang terperangkap lensa mata disaat pertama kali aku mengenalnya. Kali ini, aku berusaha mencoba berdamai dengan suasana. Suasana  yang tercipta dari tingkah lakunya.

Aku berkhayal, saat aku kembali ke masa lalu. Mengingatnya saat membuatku tertawa lepas, mengingat  tingkah  cueknya padaku juga mengingat perhatian dari marah dan maafnya. Dia unik, celupan karakter berbagai warna hingga aku tidak bisa menyimpulkan yang mana sifat dominannya. Aku tahu, aku seorang plin-plan. Aku merindukan sosoknya  yang dulu disaat bersamaan pun aku mengagumi sosoknya yang sekarang. Aku masih memikirkannya hingga sampai saat ini, bahkan aku ingin merasukinya disaat dia coba  untuk lupakan aku.

Aku rindu pertemuan itu walau terbatas, rindu yang  sampai tumpah karena tak terbalaskan.  Dibalik itu, aku sangat mengerti dia hanya berpura-pura bertindak tidak perseptif. Aku tahu, aku hanya sesosok gadis yang membosankan dimatanya. Sosok yang kupikir bisa membantunya mewujudkan janji yang dulu pernah sempat  dia tegaskan. Tapi ternyata aku tak mampu, aku terlalu kecil dihadapannya hingga mata minimalisnya tak tahu bahwa aku selalu di sampingnya.  Aku  tak dibutuhkan lagi, ada semacam hukum baru, yaitu  jalani peran masing-masing dan dia menyetujui postulatku.

"Sekarang semua sudah jelas, padahal banyak yang ingin kuceritakkan padamu.  Apakah mungkin kau akan kembali berantusias  untuk mendengar ceritaku ?" Tentu tidak, pikirku.

Dia menyakitiku dengan luka agar aku belajar tegar dan dengan diam memaksaku  bersikap serius serta lenyapkan sifat kekanak-kanakanku. Aku sadar, aku dan dia bukan satu takdir untuk menjadi cinta. Bukanlah cerita cinta lama yang sudah habis terkikis, namun dari itu kusimpan segala kenangan, gurauan, perhatian, kesayuan, dan  yang paling terjaga ketat adalah kenyamanan. Pesan singkatnya yang dulu, lembaran foto dan pantun yang ia tulis masih kukemas rapi dibuku kecilku. Kenangan itu tak akan kubuang  seperti sampah waktu. Tapi, kujaga dan kutata di halaman dinding hatiku. Aku selalu mengusik ketenangannya dan aku baru menyadari. Aku puas dengan usahaku selama ini. Kuharap insiden ini tidak membuat kita untuk berhenti berkabaran.

“Hey pria bermata minimalis apa hatimu juga minimalis? Mengapa aku bisa menyayangimu ?  Oh… Allahku bolehkah aku perjelas, bahwa ini bukan retorik, semua ini butuh jawaban.”

2 komentar: