Kamarku mempunyai udara sejuk,
menyimpan keheningan yang mampu membangkitkan pikiranku untuk berdaya khayal. Aku sedang tak belajar hanya
untuk mengamati foto seorang pria
bermata minimalis. Senyumnya tak lepas namun membuatnya tampak elegan. Lelaki
itu mengenakan baju berwarna putih, dengan background berwarna merah . Akhir-akhir ini dia sangat
sibuk tapi aku bisa memaklumi dan mengerti. Setelah kupikir-pikir kembali akan
lebih baik jika disela kesibukkannya dia
masih mengingatku dengan memberi sepadi
kabar.
Sifatnya berubah, menjadi sedikit lebih dingin dari
hal yang lalu. Namun kuharap jangan terlalu perasa karena bukan artinya aku tak suka, hanya belum saja terbiasa. Mungkinkah dia
menyadari, kalau dia bukanlah tokoh pria dalam lembaran komik Jepang.
Lembaran yang bisa selalu membuat
wanita bertanya-tanya. Aku tidak pernah meminta dia untuk mengubah sifatnya
kembali lagi seperti yang dulu. Sifat yang terperangkap lensa mata disaat
pertama kali aku mengenalnya. Kali ini, aku berusaha mencoba berdamai dengan
suasana. Suasana yang tercipta dari
tingkah lakunya.
Aku berkhayal, saat aku kembali ke
masa lalu. Mengingatnya saat membuatku tertawa lepas, mengingat tingkah
cueknya padaku juga mengingat perhatian dari marah dan maafnya. Dia
unik, celupan karakter berbagai warna hingga aku tidak bisa menyimpulkan yang
mana sifat dominannya. Aku tahu, aku seorang plin-plan. Aku merindukan
sosoknya yang dulu disaat bersamaan pun
aku mengagumi sosoknya yang sekarang. Aku masih memikirkannya hingga sampai
saat ini, bahkan aku ingin merasukinya disaat dia coba untuk lupakan aku.
Aku rindu pertemuan itu walau
terbatas, rindu yang sampai tumpah
karena tak terbalaskan. Dibalik itu, aku
sangat mengerti dia hanya berpura-pura bertindak tidak perseptif. Aku tahu, aku
hanya sesosok gadis yang membosankan dimatanya. Sosok yang kupikir bisa
membantunya mewujudkan janji yang dulu pernah sempat dia tegaskan. Tapi ternyata aku tak mampu,
aku terlalu kecil dihadapannya hingga mata minimalisnya tak tahu bahwa aku
selalu di sampingnya. Aku tak dibutuhkan lagi, ada semacam hukum baru,
yaitu jalani peran masing-masing dan dia
menyetujui postulatku.
"Sekarang semua sudah jelas,
padahal banyak yang ingin kuceritakkan padamu.
Apakah mungkin kau akan kembali berantusias untuk mendengar ceritaku ?" Tentu tidak,
pikirku.
Dia menyakitiku dengan luka agar aku
belajar tegar dan dengan diam memaksaku
bersikap serius serta lenyapkan sifat kekanak-kanakanku. Aku sadar, aku
dan dia bukan satu takdir untuk menjadi cinta. Bukanlah cerita cinta lama yang
sudah habis terkikis, namun dari itu kusimpan segala kenangan, gurauan,
perhatian, kesayuan, dan yang paling terjaga
ketat adalah kenyamanan. Pesan singkatnya yang dulu, lembaran foto dan pantun
yang ia tulis masih kukemas rapi dibuku kecilku. Kenangan itu tak akan
kubuang seperti sampah waktu. Tapi,
kujaga dan kutata di halaman dinding hatiku. Aku selalu mengusik ketenangannya
dan aku baru menyadari. Aku puas dengan usahaku selama ini. Kuharap insiden ini
tidak membuat kita untuk berhenti berkabaran.
“Hey pria bermata minimalis apa
hatimu juga minimalis? Mengapa aku bisa menyayangimu ? Oh… Allahku bolehkah aku perjelas, bahwa ini
bukan retorik, semua ini butuh jawaban.”
jiaaa,, sp itu rum :v
BalasHapusyaaa seorang pria bermata sipit wkwk
BalasHapus