“Udah dong Jev, jangan nangis terus,
kasihan tuh mata kamu tambah gede aja” kata Reginta sambil memeluk
tubuhku yang mungil ini. Sebut saja dia Rere, karena terlalu panjang jika
menyebutnya Reginta.
Saat itu usia persahabatanku dengan Rere 96 minggu. Kami
bertemu sejak duduk di bangku kelas 2 (Sekolah Menengah Pertama) SMP. Kami
tidak pernah jaim dan tidak pernah bermasalah. Kami sudah saling nyaman. Kami
sama-sama saling menyukai hujan, senja, es krim, kucing dan cupcake. Saat di sekolah kami selalu
berdua, ke kantin, kerja kelompok bahkan
ke toilet pun kami berdua. Tidak jarang ada yang menyebut kami kembar bak
pinang dibelah empat, hey! Dua maksudku. Teman-teman di kelas juga sering
terbalik memanggil nama kami.
***
“Gilaaak
udah jam 06.00 aja” Aku berlari
terbirit-birit ke kamar mandi karena melihat angka itu.
Setelah
aku tiba di pintu kelas langkahku terhenti karena ternyata semua kursi sudah
penuh, ada sisa 1 bangku kosong di sudut kiri. Tidak ada pilihan lagi, aku
berlari untuk menaruh tasku di bangku sana. Plaaak… pada detik yang sama seseorang
melempar tas di bangku tersebut dari depan kelas.
“Yaudah kita sebangku” kata Maya teman
sekelasku yang tomboy pada kelas 1 kemarin. Dia menarik tanganku dan mengajakku
berlari menuju halaman upacara kerena sebentar lagi upacara di mulai. Hanya ada
aku dan Maya di koridor kelas.
Setelah
pulang sekolah aku bercerita dengan kucingku yang lucu dan gembul.
“Aku
nggak satu kelas lagi sama Rere. Menyedihkan bukan
Matt?” Sambil mengelus kepala kucing kesayanganku dengan bulu hitam nan lebat
yang sedang menjilat tetesan es krim yang ada di tanganku.
“Kriiiing…”
Dering ponsel mematahkan suasana menyedihkan.
“Wah
nomor siapa nih? Angkat aja lah, penting kayaknya” Sambil mengusap touch
screen pilihan answer.
“Ini
Mbak Jevi kan? Kelas 11 IPA 3? Ini ku Adam, Adik kelas Mbak yang ikut
Organisasi Jurnalis (OJe) kayak Mbak.
Oh iya Mbak, Adam baca puisi buatan Mbak di Wall
akun Facebook Mbak dua hari yang lalu
dan itu kayaknya masih ada yang perlu
direvisi” jelasnya dengan terengah-engah.
“Ini
ngomong kayak gerbong kereta api aja
panjang banget. Bentar ini Adam anak
Jawa yang berkulit putih dan berkaca mata mirip Harry Potter? Wah aku inget” batinku.
“Oh
Adam. Iya, iya. Eh tapi udah direvisi
kok tadi malelm sama temen Mbak, namanya Mela dia OJe juga loh. Coba cek lagi deh” jelasku pada Adam. Mela teman sekelasku sekaligus tim jurnalisku
selain Rere.
“Oalaah Mbak Mela toh. Eh Mbak, maaf ya sebelum Mbak nanya, aku kasih tau duluan ya kalo aku dapet nomor Mbak dari Mbak Mela hehe” jelas Adam dengan logat Jawanya
yang khas.
Obrolan
kami berlanjut. Adam yang kunilai pendiam ternyata hobi bercerita dan ternyata
seru juga, dia juga sedikit absurd. Peristiwa
telponan itu membuat aku dan Adam semakin akrab. Dia sering merevisi puisiku
karena pengetahuan sastranya lebih baik dariku. Kedekatan diantara kami membuat
hubungan kami jadi lebih dari seorang teman.
“Jevi
temenin aku main basket ya nanti malem”
“Tapi
aku mau buat cupcake sama Rere”
“Mbak
Rere kan bisa sendiri, kamu temenin
aku aja lah biar aku semangat”
Jangan
tanya hubungan apa namanya. Jelas saja ini judulnya Cinta Siamang, eiits salah!
Tapi, Cinta Monyet Cinta Anak Ingusan maksudku.
1
New Message from Rere: “Jevi, besok
kita buat cupcake ya, ada pesenan
nih”
“Yaah,
Re maaf ya aku besok ada janji sama Adam mau ke Gramedia” Balasku.
Sejak
saat itu, aku mulai tidak akrab dengan Rere.
***
“Jevi! Cepet gih
beres-beres, hari ini kan kita mau nganter
Rere ke Loket. Aku on the way
sekarang” Tanpa jawaban, Mela menutup telepon. Aku bergegas secepat kilat.
Benar saja pagi ini kami harus mengantar Rere ke Loket karena dia akan
berangkat ke Kota Pelajar.
“Assalamualaikum, Rere...! Rere...! Rere...!” Panggilku dari
pintu depan rumah Rere.
“Maaf Mbak. Rerenya udah
berangkat kira-kira lima menit yang lalu. Dia bilang kalo dia ke Loket Muara
Enim. Ini ada titipan surat juga buat Mbak Jevi dari Mbak Rere” Ucap Mamang Bengkel
yang keluar dari pintu sebelah rumah Rere.
“Ooh yaudah makasih
ya Mang infonya” Sambil menarik surat
dari tangan Mamang Bengkel itu, dan bergegas menuju Vespa tuanya Mela yang
terparkir di depan pagar rumah Rere.
“Mel, kita ke Muara Enim sekarang, jangan banyak tanya. Cuuus” Menutup kunci pagar rumah Rere
yang sudah berkarat.
Di perjalanan menuju loket Muara Enim, aku membuka surat
dari Rere. Tulisan khas Rere yang sedikit miring mengingatkanku pada saat kami
belajar kelompok usai membuat cupcake
kala itu.
“Jevi aku pamit ya, maaf selama ini kalo aku punya salah
sama kamu, buat kamu tersinggung atau apa. Aku titip si Meong Cha, rawat dia ya, kasih makan bareng Matt aja. Kalo aku pulang ke Lahat, nanti
kita bikin cupcake lagi, menikmati
rintik hujan, menikmati senja dan juga menjilat dinginnya es krim. Jev, maaf ya
aku sengaja pergi lebih dulu ke loket, aku nggak
mau liat kamu nangis, kamu kan cengeng banget.
Oh iya selamat ya udah lulus di
Universitas Sriwijaya, doain sahabatmu
ini lulus di salah satu Universitas Negeri Jogja. Aku bakal kangen banget sama sahabatku satu ini. Selamat
datang Jogjaaa. Bye Jev. Sampai ketemu lagi” Tulis Rere pada selembar surat
berwarna merah muda dan bercorak Bunga Sakura itu.
1 New Message from
Rere: “Jev nggak usah nyusul aku udah nggak di loket lagi”
Aku terhempas pada kesedihan dan penyesalan mendalam,
dulu aku sibuk dengan duniaku sendiri sampai menyia-nyiakan sahabat yang begitu
peduli denganku sedang aku lupa dengannya. Saat sudah berpisah aku baru
mencari-carinya. Sebelum ada Adam
padahal duniaku tak kalah indahnya tidak jarang aku bermalam di rumah Rere
hanya karena membuat cupcake pesanan
teman di sekolah saat bosan kami saling mencoret muka dengan krim putih nan
lembut itu agar suasana tidak begitu serius. Menikmati dinginnya hujan dan
melukis pada hawa hujan yang menempel di kaca jendela rumah Rere saat dilanda
gundah gelisah serta tidak lupa juga menyeruput hangatnya secangkir cokelat.
Kami juga selalu menyambut senja ditemani dengan Matt dan Meong Cha. Dan kini,
Adam juga pergi tanpa kabar.
***
Senja
yang sangat indah dihiasi titik garis lurik. Kuningnya sangat merona, garis
sinar yang sangat gagah berani menelusuk bumi. Terpaan cahaya senja yang
bersahaja membuat daun pohon kelapa di belakangku nampak mengkilap. Pasir putih
yang terbentang ini pun berkelap-kelip
seperti bintang di hitamnya malam. Sungguh panorama yang apik dipandang para
mata. Seketika suara riuh memecah lamunan tik… tik… tik… hujan! Lekas aku
berlari menuju pondok samping pohon kelapa sambil membopong Matt dan Meong Cha.
Kini senja berada di bawah hujan.
“Jeviii”
Teriak seorang yang berambut panjang dan ikal berkulit sawo matang serta
membawa sangkek bambu. Benar sekali, Rere. Dia datang melengkapi cerita dia
berlari mendekat, air matanya jatuh terpontang-panting seperti merasakan
keadaan yang ganjil. Aku lekas mengejarnya dan memeluk erat tubuhnya, seperti
enggan melepasnya lagi.
“Ini
cupcake sama es krimnya” Air matanya
masih mengalir menganak sungai. Kedatangannya menggenapkan suasana. Es krim, cupcake, Matt, Meong Cha, serta hujan
dan senja. Bukan mustahil kami dapat bersama. Sungai Lematang bak Pantai
Trikora ini tetap menjadi markas kami sampai sekarang.
“Kamu
kok nggak ada kabar sih”
“Aku
minta maaf ya dulu aku sempet acuh
sama kamu, cuma karena laki-laki”
“Yaa
Jev, aku juga minta maaf. Sekarang kita fokus kuliah dulu ya. Takutnya kalo
pacaran ganggu konsentrasi kita buat kuliah. Kita banggain dulu Ibu Bapak kita.
Oh ya aku diterima di Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN)” Sahut
Rere sembari mengeluarkan empat cangkir cupcake
dari dalam sangkek.
“Iya
Re, setuju banget sama kamu. Waaah
selamat ya aku ikut seneng dengernya”
Satu
cangkir Cupcake yang tergeletak di
atas karpet tempat kami duduk sudah dijilat saja sama dua makhluk manja nan
lucu ini.
***
Setelah 6 minggu liburan tiba saatnya kami harus berpisah
pulau lagi.
“Re,
siap-siap yuk, itu nama kamu bentar
lagi dipanggil” Duduk di kursi tunggu loket, sambil mendengar speaker pemanggil penumpang.
“Jevi, koper kamu
basah tuh. Pinggirin gih” Menunjukkan koper yang lupa kuteduhkan dari serbuan
hujan.
“Nggak terasa Re, kita udah pisah lagi. Kamu baik-baik ya di
Jogja. Jaga baik-baik ya Matt Kesayanganku itu” Memberikan sangkar Matt kepada
Rere.
“Kamu juga Jev, baik-baik di Palembang, jaga si centil
Meong Cha ya” Memberikan tali penuntun yang masih terikat di leher Meong Cha
padaku.
Dan perjalanan pulang dua pasang sahabat yang seiring
seirama tidak terasa berat walau dirusuh hujan. Karena setelah itu, sunggingan
pelangi akan datang mengiringi dan sebuah komitmen yang telah terpatri.
1 new message from
Rere: “Beberapa menit lagi kita akan memandang senja dari kaca bis kita
masing-masing”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar