Rabu, 03 Februari 2016

Senja dari Seorang Sahabat





Udah dong Jev, jangan nangis terus, kasihan tuh mata kamu tambah gede aja” kata Reginta sambil memeluk tubuhku yang mungil ini. Sebut saja dia Rere, karena terlalu panjang jika menyebutnya Reginta.
            Saat itu usia persahabatanku dengan Rere 96 minggu. Kami bertemu sejak duduk di bangku kelas 2 (Sekolah Menengah Pertama) SMP. Kami tidak pernah jaim dan tidak pernah bermasalah. Kami sudah saling nyaman. Kami sama-sama saling menyukai hujan, senja, es krim, kucing dan cupcake. Saat di sekolah kami selalu berdua, ke kantin,  kerja kelompok bahkan ke toilet pun kami berdua. Tidak jarang ada yang menyebut kami kembar bak pinang dibelah empat, hey! Dua maksudku. Teman-teman di kelas juga sering terbalik memanggil nama kami.
***
 Gilaaak udah jam 06.00 aja” Aku berlari terbirit-birit ke kamar mandi karena melihat angka itu.
Setelah aku tiba di pintu kelas langkahku terhenti karena ternyata semua kursi sudah penuh, ada sisa 1 bangku kosong di sudut kiri. Tidak ada pilihan lagi, aku berlari untuk menaruh tasku di bangku sana. Plaaak… pada detik yang sama seseorang melempar tas di bangku tersebut dari depan kelas.
Yaudah kita sebangku” kata Maya teman sekelasku yang tomboy  pada kelas 1  kemarin. Dia menarik tanganku dan mengajakku berlari menuju halaman upacara kerena sebentar lagi upacara di mulai. Hanya ada aku dan Maya di koridor kelas.
Setelah pulang sekolah aku bercerita dengan kucingku yang lucu dan gembul.
“Aku nggak  satu kelas lagi sama Rere. Menyedihkan bukan Matt?” Sambil mengelus kepala kucing kesayanganku dengan bulu hitam nan lebat yang sedang menjilat tetesan es krim yang ada di tanganku.
“Kriiiing…” Dering ponsel mematahkan suasana menyedihkan.
“Wah nomor siapa nih? Angkat aja lah, penting kayaknya” Sambil mengusap touch screen pilihan answer.
“Ini Mbak Jevi kan? Kelas 11 IPA 3? Ini ku Adam, Adik kelas Mbak yang ikut Organisasi Jurnalis (OJe) kayak Mbak. Oh iya Mbak, Adam baca puisi buatan Mbak di Wall akun Facebook Mbak dua hari yang lalu dan itu kayaknya masih ada yang perlu direvisi” jelasnya dengan terengah-engah.
“Ini ngomong kayak gerbong kereta api aja panjang banget. Bentar ini Adam anak Jawa yang berkulit putih dan berkaca mata mirip Harry Potter? Wah aku inget” batinku.
“Oh Adam. Iya, iya. Eh tapi udah direvisi kok tadi malelm sama temen Mbak, namanya Mela dia OJe juga loh. Coba cek lagi deh” jelasku pada Adam. Mela teman sekelasku sekaligus tim jurnalisku selain Rere.
Oalaah Mbak Mela toh. Eh Mbak, maaf ya sebelum Mbak nanya, aku kasih tau duluan ya kalo aku dapet nomor Mbak dari Mbak Mela hehe” jelas Adam dengan logat Jawanya yang khas.
Obrolan kami berlanjut. Adam yang kunilai pendiam ternyata hobi bercerita dan ternyata seru juga, dia juga sedikit absurd. Peristiwa telponan itu membuat aku dan Adam semakin akrab. Dia sering merevisi puisiku karena pengetahuan sastranya lebih baik dariku. Kedekatan diantara kami membuat hubungan kami jadi lebih dari seorang teman.
“Jevi temenin aku main basket ya nanti malem
“Tapi aku mau buat cupcake sama Rere”
“Mbak Rere kan bisa sendiri, kamu temenin aku aja lah biar aku semangat”
Jangan tanya hubungan apa namanya. Jelas saja ini judulnya Cinta Siamang, eiits salah! Tapi, Cinta Monyet Cinta Anak Ingusan maksudku.
1 New Message from Rere: “Jevi, besok kita buat cupcake ya, ada pesenan nih”
“Yaah, Re maaf ya aku besok ada janji sama Adam mau ke Gramedia” Balasku.
Sejak saat itu, aku mulai tidak akrab dengan Rere.
***
            “Jevi! Cepet gih beres-beres, hari ini kan kita mau nganter Rere ke Loket. Aku on the way sekarang” Tanpa jawaban, Mela menutup telepon. Aku bergegas secepat kilat. Benar saja pagi ini kami harus mengantar Rere ke Loket karena dia akan berangkat ke Kota Pelajar.
            “Assalamualaikum, Rere...! Rere...! Rere...!” Panggilku dari pintu depan rumah Rere.
            “Maaf  Mbak.  Rerenya udah berangkat kira-kira lima menit yang lalu. Dia bilang kalo dia ke Loket Muara Enim. Ini ada titipan surat juga buat Mbak Jevi dari Mbak Rere” Ucap Mamang Bengkel yang keluar dari pintu sebelah rumah Rere.
            “Ooh yaudah makasih ya Mang infonya”  Sambil menarik surat dari tangan Mamang Bengkel itu, dan bergegas menuju Vespa tuanya Mela yang terparkir di depan pagar rumah Rere.
            “Mel, kita ke Muara Enim sekarang, jangan banyak tanya. Cuuus” Menutup kunci pagar rumah Rere yang sudah berkarat.
            Di perjalanan menuju loket Muara Enim, aku membuka surat dari Rere. Tulisan khas Rere yang sedikit miring mengingatkanku pada saat kami belajar kelompok usai membuat cupcake kala itu.
            “Jevi aku pamit ya, maaf selama ini kalo aku punya salah sama kamu, buat kamu tersinggung atau apa. Aku titip si Meong  Cha, rawat dia ya, kasih makan bareng Matt aja. Kalo aku pulang ke Lahat, nanti kita bikin cupcake lagi, menikmati rintik hujan, menikmati senja dan juga menjilat dinginnya es krim. Jev, maaf ya aku sengaja pergi lebih dulu ke loket, aku nggak mau liat kamu nangis, kamu kan cengeng banget. Oh iya selamat ya udah lulus di Universitas Sriwijaya, doain sahabatmu ini lulus di salah satu Universitas Negeri Jogja. Aku bakal kangen banget sama sahabatku satu ini. Selamat datang Jogjaaa. Bye Jev. Sampai ketemu lagi” Tulis Rere pada selembar surat berwarna merah muda dan bercorak Bunga Sakura itu.
            1 New Message from Rere: “Jev nggak usah nyusul aku udah nggak di loket lagi”
            Aku terhempas pada kesedihan dan penyesalan mendalam, dulu aku sibuk dengan duniaku sendiri sampai menyia-nyiakan sahabat yang begitu peduli denganku sedang aku lupa dengannya. Saat sudah berpisah aku baru mencari-carinya.  Sebelum ada Adam padahal duniaku tak kalah indahnya tidak jarang aku bermalam di rumah Rere hanya karena membuat cupcake pesanan teman di sekolah saat bosan kami saling mencoret muka dengan krim putih nan lembut itu agar suasana tidak begitu serius. Menikmati dinginnya hujan dan melukis pada hawa hujan yang menempel di kaca jendela rumah Rere saat dilanda gundah gelisah serta tidak lupa juga menyeruput hangatnya secangkir cokelat. Kami juga selalu menyambut senja ditemani dengan Matt dan Meong Cha. Dan kini, Adam juga pergi tanpa kabar.
***
Senja yang sangat indah dihiasi titik garis lurik. Kuningnya sangat merona, garis sinar yang sangat gagah berani menelusuk bumi. Terpaan cahaya senja yang bersahaja membuat daun pohon kelapa di belakangku nampak mengkilap. Pasir putih yang terbentang ini  pun berkelap-kelip seperti bintang di hitamnya malam. Sungguh panorama yang apik dipandang para mata. Seketika suara riuh memecah lamunan tik… tik… tik… hujan! Lekas aku berlari menuju pondok samping pohon kelapa sambil membopong Matt dan Meong Cha. Kini senja berada di bawah hujan.
“Jeviii” Teriak seorang yang berambut panjang dan ikal berkulit sawo matang serta membawa sangkek bambu. Benar sekali, Rere. Dia datang melengkapi cerita dia berlari mendekat, air matanya jatuh terpontang-panting seperti merasakan keadaan yang ganjil. Aku lekas mengejarnya dan memeluk erat tubuhnya, seperti enggan melepasnya lagi.
“Ini cupcake sama es krimnya” Air matanya masih mengalir menganak sungai. Kedatangannya menggenapkan suasana. Es krim, cupcake, Matt, Meong Cha, serta hujan dan senja. Bukan mustahil kami dapat bersama. Sungai Lematang bak Pantai Trikora ini tetap menjadi markas kami sampai sekarang.
“Kamu kok nggak ada kabar sih
“Aku minta maaf ya dulu aku sempet acuh sama kamu, cuma  karena laki-laki”
“Yaa Jev, aku juga minta maaf. Sekarang kita fokus kuliah dulu ya. Takutnya kalo pacaran ganggu konsentrasi kita buat kuliah. Kita banggain dulu Ibu Bapak kita. Oh ya aku diterima di Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN)” Sahut Rere sembari mengeluarkan empat cangkir cupcake dari dalam sangkek.
“Iya Re, setuju banget sama kamu. Waaah selamat ya aku ikut seneng dengernya
Satu cangkir Cupcake yang tergeletak di atas karpet tempat kami duduk sudah dijilat saja sama dua makhluk manja nan lucu ini.
***
            Setelah 6 minggu liburan tiba saatnya kami harus berpisah pulau lagi.
“Re, siap-siap yuk, itu nama kamu bentar lagi dipanggil” Duduk di kursi tunggu loket, sambil mendengar speaker pemanggil penumpang.
            “Jevi,  koper kamu basah tuh. Pinggirin gih” Menunjukkan koper yang lupa kuteduhkan dari serbuan hujan.
Nggak terasa Re, kita udah pisah lagi. Kamu baik-baik ya di Jogja. Jaga baik-baik ya Matt Kesayanganku itu” Memberikan sangkar Matt kepada Rere.
            “Kamu juga Jev, baik-baik di Palembang, jaga si centil Meong Cha ya” Memberikan tali penuntun yang masih terikat di leher Meong Cha padaku.
            Dan perjalanan pulang dua pasang sahabat yang seiring seirama tidak terasa berat walau dirusuh hujan. Karena setelah itu, sunggingan pelangi akan datang mengiringi dan sebuah komitmen yang telah terpatri.
            1 new message from Rere: “Beberapa menit lagi kita akan memandang senja dari kaca bis kita masing-masing”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar