“Iya Lee, serius aku ketemu Karis” Lunar menceritakan momen
yang tiba-tiba bertemu Karis itu pada Lee Hi dengan raut wajah yang begitu
sumringah, kemudian mendadak menjadi datar.
“Tapi Lee, aku takut dia ngajakkin aku balikan, terus aku
disakitin lagi, emang sih keliatannya dia udah berubah” Sambung Lunar dengan
ekspresi datar, sedatar lantai rumah.
“Jadi, maksudnya kamu trauma Lun? Yaa, kamu juga perlu was-was
sih, pastiin aja dulu kalo dia emang bener-bener udah berubah. “ Jawab Lee Hi
dengan serius, seserius mengerjakan tugas yang sedang ia ketik sekarang .
“Tapi
BTW (By The Way) kamu kok pede banget
sih bakal diajak balikan gitu?” Lee Hi tertawa kecil menghentikan ketikannya
dan langsung menoleh ke arah Lunar yang sedang
sedang mengunyah makanan ringan di atas kasur.
“Hahaha
eh iya ya Lee” Lunar pun terbahak lantas menghentikan sejenak mesin kunyahnya
itu, dan terdiam.
***
Angin bertiup sepoi-sepoi, udara meningkatkan volumenya. Langit yang biru terbentang perlahan terpudar akibat disergap oranye dari sisi barat yang berjalan turun menembus celah-celah awan. Jarum-jarum cahayanya ikut menembus gemercik ombak yang gaduh menebarkan degradasi warna yang indah biru-biru keemasan. Pantai begitu menakjubkan dikala senja menghadang.
“Perasaan itu, sejujurnya aku masih menyimpannya Lun” Ucapan Shiro mendadak mengheningkan suasana. Ini kali ke dua Shiro mengutarakan perasaannya setelah dulu ia ucapkan saat mereka masih berada di kota yang didudukki Monas (Monumen Nasional).
Lunar hanya terdiam, bahkan untuk menoleh ke sumber suara pun tidak bisa.
“Ini adalah cinta meski kita hanya berteman” Shiro menyambung ucapannya.
“Kamu
nggak perlu jawab ini Lun, aku tau sebenarnya hati kamu masih di Ka…”
“Nggak,
hati aku bukan di dia” Lunar memotong ucapan Shiro dan menekuk lututnya
memandang gemercik ombak sembari berkata dalam hati,
“Iya, hati aku di Karis, tapi sepertinya di
kamu juga, entahlah aku tidak bisa memaparkannya”
Ombak menerjang menumbur cagak-cagak dermaga hingga membuat dermaga bergetar seperti perasaan Shiro sekarang. Kicauan-kicauan yang khas itu perlahan menghilang dari pendengaran karena mereka terbang menuju kediamannya. Gelap tengah berjalan menangkap sang oranye, sebentar lagi semua akan berwarna hitam, jarum-jarum cahaya yang tadinya menyilaukan kini pias sudah.
“Gelap,
benar-benar gelap.” Tutur Shiro dalam batinnya.
***
“Gomen ne (Maaf),
di musim salju melihatmu begitu menyilaukan seperti bentangan salju itu
sendiri; Shiro. Kamu menyenangkan, baik, juga keren. Tidak bisa kupungkiri aku
juga suka sama kamu. Tapi kita ini teman. Anggap saja ini alasannya. Aku ingin
kita terus dekat seperti ini. Tomodachi de ite kureta arigatou (Terimakasih
telah menjadi temanku)” Tulis Lunar dalam lembaran hariannya.
“Jeng…
jeng… cie cie dua kali” kejut Lee Hi yang sedari tadi sudah mengintip Lunar
menulis dari belakang.
“Apaan sih, malu tau” Lunar langsung menutup buku hariannya
keluar kamar dan meraih remote televisi.
“Cieee, kok kamu nolak sih” Lee Hi ikut duduk di samping
Lunar, mengganggunya yang sedang pura-pura asyik nonton kuisioner.
“Iya bener juga sih Lun keputusan kamu, nggak semua yang
baik dan menyenangkan kita jadiin pacar. Takutnya kalo temenan deket terus
pacaran dilanjut putus, eh hubungan jadi canggung” Lee Hi mengambil alih remote
untuk mengecilkan volume suara televise.
“Yaaa aku sih bukan mikir putus gitu, tapi gimana ya.
Soalnya kebanyakan cerita sih yah gini” Lee Hi menatap Lunar yang kelihatannya
sedang merenung.
“Iya bener banget Lee, itu yang aku pikirin. Tapi aku tuh
emang udah lama juga sih kagum suka-suka gitu hmmm di sisi lain juga aku masih
sayang sama Karis”
“Labil banget kamu Lun, pikirin aja positif negatifnya
nerima salah satu dari mereka ya. Na
jol-lyeo (Aku ngantuk)” Sambil berjalan ke kamar.
“Kala itu, aku diajak ke dalam hutan yang indah, dimana aku merasakan kesejukkan dan kenyamanan di dalamnya, momen itu membuat kami semakin penasaran untuk masuk lebih dalam lagi sampai kami tersesat dan aku ditinggal sendirian. Aku mencarinya tapi aku tidak menemukannya termasuk jejak-jejak kakinya karena tenggelam ditutup daun yang gugur. Aku tidak ingin lagi berkhayal menjadi matanya hanya untuk mengetahui perasaannya saat dia menatapku. Apakah hambar atau malah tergambar? Aku selalu ingat bagaimana lensaku membidik senyum manisnya, aku selalu ingat bagaimana kacamatanya menjernihkan mata minimalisnya” Tulis Lunar dalam buku diarynya.
***
Kamakura tampak megah
dihiasi api-api berbentuk bunga warna-warni yang berhamburan, letupan-letupan
dahsyat bertubi-tubi lepas landas menghiasi langit malam yang tadinya kelat. Siapa
yang tidak suka pemandangan seperti ini, pemandangan yang mampu membuat mulut para
mata menganga. Tentunya para fotografer pun tidak ingin melewatkan peristiwa menakjubkan
ini. Para kamera tercagak tegap mendongak ke atas, menyergap momen ini. Suara
yang berkolaborasi saat ini kira-kira seperti ini ‘woaaa’ ‘duaaar’ dan satu lagi
seperti ini ‘cekrek cekrek ckrek’. Hingar binar malam kembang api inilah yang
ditunggu Lunar. Momen ini begitu menggenapkan permintaannya pada Karis kala itu.
Benar, bersama Karis dia di festival ini.
“Karis, makasih ya, udah ajak aku ke sini, ini keren lah
pokoknya” Mereka mencari tempat duduk yang sedikit jauh dari keramaian.
“Iya, dulu kamu juga kan yang minta buat main kembang
api, nah ini ada yang kecil” menghidupkan setangkai kembang api kecil.
“Lunar, sebenarnya aku menyesal udah nyia-nyiain kamu
dulu” Menatap Lunar yang berhenti memutar-mutar tangkai kembang api yang
dipegangnya.
“Udah, santai aja itu kan dulu, Ris” Lunar tersenyum
tipis.
“Maksudku, aku pengen kita balik lagi kayak dulu Lun.
Entah, aku yakin banget perasaan kamu nggak berubah” Sambil menatap kembang api
di atas yang belum berhenti selama 3500 detik itu.
“Mmm, maaf, kamu salah Ris, waktu itu sudah lama berlalu,
perasaanku juga udah berubah, aku harap kamu ngerti Ris. Sono sutekina omoide o arigatou (Terimakasih untuk kenangan indah
itu)” Tatapan Lunar mengarah ke Karis.
Hey, mengapa Lunar seperti ini? Padahal perasaan itu
Lunar masih menyimpannya dengan rapi. Sepertinya Lunar takut kejadian itu akan
terulang untuk ke dua kalinya.
“Mmm begitu kah Lun? Aku minta maaf atas apa yang telah
kuperbuat dulu. Teruslah bersinar. Anata
ga shiawase ni narimasu you ni (Semoga kau bahagia). Karis mengatakan
dengan senyum dan ketegaran hati.
Kini
genap 3600 detik, titik-titik api terakhir yang indah menawan itu perlahan
jatuh dan menghilang di awang-awang. Tampak dari bawah keindahan warna-warni
itu memudar ditelan gelap memadukan suasana hati Karis.
“Gomen ne (Maaf) melihatmu di musim panas malam
hari itu tampak menyilaukan seperti sinar dari kembang api. Juga menyilaukan
seperti pasir di pantai yang mengkilat; aku tidak bisa melihatnya. Debaran ini
menyakitkan. Akankah perasaan ini terus berlanjut?” Tidak terasa,
tetesan-tetesan air itu meluncur di punggung pipinya hingga jatuh memadamkan
setangkai kembang api yang tengah ia cekal dengan jarinya.